Kamis, 28 Mei 2015

CONTOH KASUS PELANGGARAN ETIKA PROFESI PILOT PESAWAT


Dikutip dari: hminews.com
Posted on 29/09/2011 by Redaksi Hminews.com in News
HMINEWS, Tangerang – Edan! seorang pilot berani bermain-main dengan nyawa penumpang. Ia mengaku nyabu di udara. Pilot maskapai penerbangan Lion Air, Moh Nasri, didakwa sebagai pemakai Narkoba jenis shabu dan pil ekstasi diadili di Pengadilan Negeri Tangerang, Selasa (27/9/2011).
Jaksa penuntut umum Sukanto, SH, mengatakan terdakwa ditangkap petugas saat pesta shabu-shabu bersama rekannya bernama Imron dan Husni Thamrin co pilot, di apartemen Modern Golf Kota Tangerang di lantai 6 kamar no.7.
Saat petugas menggrebek menemukan pil ektasi di saku bajunya serta shabu-shabu disimpan di dasinya. Menurut terdakwa, ia mengakui pil ekstasi miliknya dan sempat dikantonginya saat terbang ke Surabaya. Untuk barang bukti shabu ia tidak tahu kenapa terselip di dasinya yang biasa dipakai untuk dinas pilot.
Menurut terdakwa ketika akan ia menerbangkan pesawat ke Surabaya ditilpon oleh Husni Thamrin (co pilot) agar mengambil pil ekstasi kepada terdakwa Lidyawati (disidangkan terpisah) di Alfamart Ngelasari yang berlokasi di belakang Bandara Internasional Soekarno Hatta.
Saksi akhli psikiater, Carlania Lusi yang didengar keterangannya disidang yang diketaui hakim Asiadi Sembiring,SH menjelaskan, ia pernah memeriksa terdakwa moh Nasri saat masih dipeiksa polisi.
Menurutnya, Pilot Moh Nasri adalah pecandu shabu dan pil ekstasi. “Dia mengaku sehari nyabu 2 kali dan terkadang dilakukan di udara,”jelas saksi yang bertugas di RS ketergantungan obat di Cibubur.

Atas perbuatannya ini sang pilot terancam sanksi berlapis sebagaimana tercantum dalam undang-undang nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan pada pasal 412 ayat 1 dan 2 yang berbunyi (1) Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib dalam penerbangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Selain pasal diatas terdapat pasal lain yang dapat menjerat pelaku yaitu Pasal 114 ayat (1) junto Pasal 132 ayat (1) sub Pasal ayat 112 ayat (1) UU Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika. Dalam pasal 114 menyebutkan (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 132 (1) Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal tersebut. 

Jumat, 01 Mei 2015

PERSATUAN WARTAWAN INDONESIA

Persatuan Wartawan Indonesia selanjutnya dikenal dengan nama PWI adalah organisasi profesi wartawan pertama di Indonesia. PWI berdiri pada 9 Februari 1946 di Surakarta bertepatan dengam Hari Pers Nasional. PWI beranggotakan wartawan yang tersebar di seluruh Indonesia Saat ini PWI dipimpin oleh Margiono selaku ketua umum yang menjabat sejak 2013 hingga 2018.
Berdirinya organisasi PWI menjadi awal perjuangan Indonesia dalam menentang kolonialisme di Indonesia melalui media dan tulisan. Setelah berdirinya PWI, organisasi serupa juga didirikan. Organisasi tersebut adalah Serikat Penerbit Suratkabar atau SPS pada 8 Juni 1946. Serikat Penerbit Suratkabar mengganti namanya menjadi Serikat Perusahaan Pers pada 2011, bertepatan dengan hari jadi SPS yang ke-65. Kepentingan untuk mendirikan SPS pada waktu itu bertolak dari pemikiran bahwa barisan penerbit pers nasional perlu segera ditata dan dikelola, dalam segi idiil dan komersialnya, mengingat saat itu pers penjajah dan pers asing masih hidup dan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya. Karena jarak waktu pendiriannya yang berdekatan dan memiliki latar belakang sejarah yang serupa, PWI dan SPS diibaratkan sebagai "kembar siam" dalam dunia jurnalistik.
Sebelum didirikan, PWI membentuk sebuah panitia persiapan pada awal awal tahun 1946. Panitia persiapan tersebut dibentuk pada tanggal 9-10 Februari 1946 di balai pertemuan Sono Suko, Surakarta, saat diadakannya pertemuan antar wartawan Indonesia. Pertemuan itu dihadiri oleh beragam wartawan, diantaranya adalah tokoh-tokoh pers yang sedang memimpin surat kabar, majalah, wartawan dan pejuang. Pertemuan tersebut menghasilkan dua keputusan, diantaranya adalah
Disetujui membentuk organisasi wartawan Indonesia dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang diketuai oleh Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretaris Sudarjo Tjokrosisworo.
Disetujui membentuk sebuah komisi beranggotakan:
  1. Sjamsuddin Sutan Makmur (Harian Rakyat Jakarta),
  2. B.M. Diah (Harian Merdeka, Jakarta).
  3. Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta).
  4. Ronggodanukusumo (Suara Rakyat, Mojokerto).
  5. Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya).
  6. Bambang Suprapto (Penghela Rakyat, Magelang).
  7. Sudjono (Surat Kabar Berjuang, Malang)
  8. Suprijo Djojosupadmo (Surat Kabar Kedaulatan Rakyat,Yogyakarta).]
Delapan orang komisi yang telah dibentuk tersebut selanjutnya dibantu oleh Mr. Sumanang dan Sudarjo Tjokrosisworo, merumuskan hal-ihwal persuratkabaran nasional waktu itu dan usaha mengkoordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional. Komisi beranggotakan 10 orang tersebut dinamakan juga “Panitia Usaha”. Tiga minggu kemudian, Panitia Usaha mengadakan pertemuan kembali di Surakarta bertepatan dengan sidang Komite Nasional Indonesia Pusat yang berlangsung dari 28 Februari hingga Maret 1946. Panitia Usaha mengadakan pertemuan dan membahas masalah pers yang dihadapi. Dari pertemuan itu lah kemudian disepakati didirikannya Serikat Perusahaan Suratkabar dalam rangka mengkoordinasikan persatuan pengusaha surat kabar yang pendirinya merupakan pendiri PWI.
Bertempat digedung musium pers Solo (saat ini), pada tanggal 9 Februari 1946, diadakan pertemuan untuk membentuk Persatuan Wartawan Indonesia. Tidak pada saat itu tanggal 9 Februari ditetapkan sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Gagasan ini baru muncul pada Kongres Ke-16 PWI di Padang. Ketika itu, bulan Desember 1978, PWI Pusat masih dipimpin Harmoko. Salah satu keputusan Kongres adalah mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan tanggal 9 Februari sebagai HPN. Ternyata semua ini harus menunggu tujuh tahun lagi untuk dapat disetujui. Melalui Surat Keputusan Presiden No. 5/1985, maka hari lahir PWI itu resmi menjadi HPN. Boleh jadi ini merupakan usaha lobi tingkat tinggi Harmoko, yang sejak 1983 menjadi Menteri Penerangan. Sebenarnya 9 Februari 1946 memang punya nilai historis bagi komunitas pers di Indonesia. Sebab, pada hari itulah diselenggarakan pertemuan wartawan nasional yang melahirkan PWI, sebagai organisasi wartawan pertama pasca kemerdekaan Indonesia dan menetapkan Sumanang sebagai ketuanya. Namun, PWI bukanlah organisasi wartawan pertama yang didirikan di Indonesia. Jauh sebelum itu, dizaman Belanda sejumlah organisasi wartawan telah berdiri dan menjadi wadah organisasi para wartawan. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Organisasi ini berdiri pada tahun 1914 di Surakarta. Pendiri IJB antara lain Mas Marco Kartodikromo yang mengaku muridnya dari Tirto Adhi Surjo, kemudian juga pendiri lainnya adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Sosro Kartono dan Ki Hadjar Dewantara. IJB merupakan organisasi wartawan pelopor yang radikal, dimana sejumlah anggotanya sering diadili bahkan ada yang diasingkan ke Digul oleh penguasa kolonial Belanda. Selain IJB, organisasi wartawan lainnya adalah Sarekat Journalists Asia (berdiri 1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), serta Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). Berbagai organisasi wartawan tersebut tidak berumur panjang akibat tekanan dari pemerintahan kolonial. Pada tahun 1984, melalui Peraturan Menteri Penerangan Harmoko (Permenpen) No. 2/1984, PWI dinyatakan sebagai satu-satunya organisasi wartawan atau wadah tunggal, yang boleh hidup di Indonesia adalah PWI. Dan setahun setelah menjadi wadah tunggal, pada 1985 PWI berhasil mengegolkan HPN tersebut. 
ASAS ASAS PWI

Pasal  1
(1)     Organisasi  ini  bernama  Persatuan Wartawan  Indonesia, (PWI), didirikan di Solo pada tanggal 9 Februari 1946 untuk waktu yang tidak ditentukan.
(2)     PWI berasaskan Pancasila.
(3)     PWI adalah organisasi Wartawan Indonesia independen dan profesional tanpa memandang baik suku, agama, dan golongan maupun keanggotaan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan.

Pasal 2
(1)     Keberadaan PWI  meliputi  seluruh  wilayah  Negara Kesatuan Republik  Indonesia.
A.   PWI Pusat berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.       PWI Provinsi berkedudukan di Ibukota Provinsi
c.       PWI Kabupaten/Kota berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota;
d.       PWI khusus Solo berkedudukan di Surakarta.

(2)     PWI memiliki:
    Peraturan Dasar, Peraturan Rumah Tangga, dan Kode Etik Jurnalistik;
    Lambang, Panji, dan Lencana;
    Hymne dan Mars.
(3) Peraturan Dasar, Peraturan Rumah Tangga, Kode  Etik  Jurnalistik,  Lambang, Panji, Lencana, Hymne dan Mars, ditetapkan oleh Kongres.

Pasal  3
(1)     PWI  menerbitkan  Kartu Anggota terdiri atas:
a.  Anggota Muda;
b.   Anggota Biasa;
c.  Anggota Luar Biasa;
d. Anggota Kehormatan.



BAB II
TUJUAN DAN UPAYA

Pasal 4
Tujuan PWI adalah:

a. Tercapainya cita-cita bangsaIndonesia sebagaimana diamanatkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b. Terwujudnya kehidupan Pers Nasional yang merdeka, profesional, bermartabat, dan beradab;
c.  Terpenuhinya  hak  publik memperoleh informasi yang tepat, akurat, dan benar;
d.Terwujudnya  tugas   pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Pasal 6

(1)     Ke dalam, PWI berupaya:
a.       Memupuk kepribadian wartawan Indonesia sebagai warga negara  yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan taat pada konstitusi;
b.       Memupuk kesadaran dan komitmen wartawan Indonesia untuk  berperanserta di dalam pembangunan bangsa dan negara;
c.       Meningkatkan ketaatan wartawan pada Kode Etik Jurnalistik, dibilitas, dan integritas wartawan dan PWI;
d.       Mengembangkan kemampuan profesional wartawan;

e.       Memberikan bantuan dan perlindungan hukum kepada wartawan dalam melaksanakan tugas profesinya;

f.         Memperjuangkan kesejahteraan wartawan.

(2)     Keluar PWI berupaya:

    Memperjuangkan terlaksananya peraturan perundang-undangan serta kehidupan bermasyarakat,  berbangsa, dan bernegara yang menjamin pertumbuhan dan pengembangan pers yang merdeka, profesional, dan bermartabat;
    Menjalin  kerja   sama   dengan  unsur pemerintah, masyarakat, dan organisasi pers di dalam dan di luar negeri;
    Memperjuangkan keadilan dan kebenaran berdasarkan supremasi hukum.
Pasal 8

(1)     Syarat-syarat  menjadi Anggota Muda adalah:
a.   Bekerja sebagai wartawan pada perusahaanmedia yang berbadan hukum;
b.   Tidak pernah dihukum oleh pengadilan karena melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan martabat dan profesi kewartawanan.

(2)     Untuk menjadi Anggota Biasa PWI seseorang harus memenuhi persyaratan:
a.    Mempunyai sertifikat Kompetensi atau dinyatakan Kompeten oleh PWI Pusat;
b.    Sudah  menjadi  Anggota  Muda PWI  selama 2 (dua) tahun;
c.     Mengajukan permohonan peningkatan status keanggotaan;
d.    Menjalankan profesi kewartawanan secara aktif;
e.    Bekerja  pada perusahaan media yang berbadan hukum;

f.      Tidak  dinyatakan bersalah oleh pengadilan negeri karena melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan martabat dan profesi kewartawanan dan asas serta tujuan PWI.
(3)     Anggota  Biasa  yang  tidak  aktif  lagi melakukan kegiatan jurnalistik dapat menjadi Anggota Luar Biasa.
(4)     Untuk dapat diangkat menjadi Anggota Kehormatan PWI seseorang (Warga Negara Indonesia) harus berjasa luar biasa bagi perkembangan Pers Nasional, khususnya PWI.
Pasal 7
Setiap Anggota PWI berkewajiban:
a.    Menaati Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga PWI serta keputusan-keputusan organisasi;
b.    Menjaga  kredibilitas dan integritas profesi serta organisasi;
c.     Menaati Kode Etik Jurnalistik;
d.    Membayar uang iuran.

Pasal 8
Anggota PWI dilarang menjadi anggota organisasi wartawan lainnya yang berbadan hukum di tingkat nasional dan daerah.



Susunan Pengurus PWI 2013 – 2018

PENASIHAT :
H. Tarman Azzam (Ketua) (Hr Terbit)
M. Noeh Hatumena (Jurnal Pers Indonesia)
Gusti (Pangeran) Rusdy Effendy (Banjarmasin Post)
M. Soleh Thamrin (Sriwijaya Post)
Tribuana Said (Waspada)
HM Saiful Hadi (LKBN Antara)
Djoko Saksono (Telstra)
Adnan NS (Waspada)
Astrid BS Soerjo (Neraca)
Teddy Kharsadi (Info Pasar)
Banjar Chaeruddin (Sinar Harapan)

PENGURUS HARIAN :
Ketua Umum : Margiono (Jawa Pos)
Ketua Bidang Organisasi : Sasongko Tedjo (Suara Merdeka)
Ketua Bidang Pembinaan Daerah : Atal S Depari (Sportanews.com)
Ketua Bidang Advokasi/Ketua LBH Wartawan : Tri Agung Kristanto (Kompas)
Ketua Bidang Pendidikan : Marah Sakti Siregar (Cek & Ricek)
Ketua Bidang Kerjasama Lembaga : Timbo Siahaan (Jak TV)
Ketua Bidang Luar Negeri : Teguh Santosa (RM Online)
Ketua Bidang Multimedia, Teknologi Informasi : Priyambodo RH (LKBN Antara)
Kepala Sekretariat
Sekretaris Jenderal : Hendry Ch Bangun (Kompas)
Wakil Sekretaris Jenderal : Kiki Iswara (Rakyat Merdeka)
Wakil Sekretaris Jenderal : Marthen Slamet (Koran Jakarta) Rudy Novrianto (Jurnal Pers Indonesia)
Bendahara Umum : Budi R Hakim (Rakyat Merdeka)
Wakil Bendahara Umum : Muhamad Ihsan (Warta Ekonomi)
Komisi Pendidikan : Hendro Basuki (Suara Merdeka)
Anggota : 1. Widodo Asmowiyoto (Pikiran Rakyat) 2. Jimmy Silalahi (Bali TV) 3. Immas Sunarya (TVRI) 4. Artini Suparmo (Jurnal LSPR) 5. Kemal Effendi Gani (SWA) 6. Arief Budi Susilo (Bisnis Indonesia) 7. Fathurachman (Media Kalimantan) 8. Bambang Eka Wijaya (Lampung Pos) 9. Rita Sri Hastuti (Warisan Indonesia) 10. Encub Subekti (SJI)

Komisi Kompetensi Wartawan : Kamsul Hasan (Pos Kota)
Anggota : 1. Djunaedi Tjunti Agus (Suara Karya) 2. Heddy Lugito (GATRA) 3. Naungan Harahap (Pikiran Rakyat) 4. Dirut RRI 5. Dirut TVRI 6. Zulkifli Gani Otto (Fajar) 7. M. Nasir (Kompas) 8. Chaerul Jasmi (Singgalang) 9. Deny Kurnia (Haluan) 10. Deni Soeoed

Departemen-Departemen
Seksi Departemen Wartawan Film, Kebudayaan & Pariwisata : Yusuf Susilo Hartono (Visual Art)
Seksi Wartawan Politik dan Ekonomi : Nasihin Masha (Republika) Putra Nababan (MetroTV)

Direktur Program
Direktur Riset dan Komunikasi Publik : Agus Sudibyo (Jurnal Pers Indonesia). Direktur Televisi dan Radio: Titin Rosmasari (Trans7).
Direktur Media Cyber & Media Sosial : Arifin Asydhad (detikcom)
Direktur Media Cetak : Ratna Susilowati (Rakyat Merdeka)
Direktur Usaha/Kesejahteraan : Muchlis Hasyim (Inilah.com)
Anggota : Nurcholish MA Basyari (Warta Ekonomi) Suprapto (Warta Kota) Yapto Subiyakto (Jurnal Pers Indonesia)
Direktur UKW : Usman Yatim (Madina)
Direktur SJI : Ahmed Kurnia S (InfoPublik)
DEWAN KEHORMATAN
Ketua Merangkap Anggota : H. Ilham Bintang (Cek & Ricek)
Sekretaris Merangkap Anggota: 1. Wina Armada (MNC) 2. Suryopratomo (Metro TV) 3. Indrawadi Tamin (TVRI) 4. Rikard Bagun (Kompas) 5. Karni Ilyas (TV One) 6. Sabam Siagian (Jakarta Post) 7. Ishadi SK(Trans Corp) 8. Asro Kamal Rokan (Jurnas)‎

KONFEDERASI WARTAWAN ASEAN (CAJ)
Sekretaris Tetap : A. Kusaeni (LKBN Antara)
Wakil Sekretaris Tetap : Rahmad Nasution (LKBN Antara)
Direktur : Bob Iskandar (Radio RKM)
Direktur : Solon Sihombing (INC TV USA)‎

SIWO Pusat
Penanggung Jawab : Raja Parlindungan Pane (The 1st Time)
Ketua Harian : AA GWA Ariwangsa (Suara Karya)
Wakil Ketua : Mardjan Zen (Pikiran Rakyat)
Sekretaris : Firmansyah Gindo (RRI)
Anggota : Dede Isharudin (Bola) Dede Hermawan (RM) Tommy Yosrifal (ANTV)‎‎

YAYASAN DANA BAKTI‎ PWI
Pendiri : Jakob Oetama, Dahlan Iskan, Chairul Tanjung
Pembina : Sofyan Lubis, Ishadi SK, Alwi Hamu
Pengawas : Soleh Thamrin, Syafik Umar, Baedhowi Adnan
Pelaksana : Kiki Iswara, Moh. Ihsan, Marthen Selamet Susanto




Sumber:

www.pwi.or.id

Jumat, 07 November 2014

Merajut Asa Penjual Ketoprak

Malam itu tepatnya hari sabtu ketika para muda-mudi yang lain asik menghabiskan malam minggu mereka bersama dengan pasangannya. Berbeda dengan saya yang menghabiskan sabtu malam yang panjang dengan bermain futsal bersama teman-teman (yaa walaupun sudah mempunyai pacar siih hehe). Saya biasa bermain futsal mulai dari jam 9 sampai dengan jam 10 malam. Selesai bermain futsal badan saya terasa lelah dan perut menjadi lapar akhirnya saya memutuskan untuk pulang dan mencari makan. Dan saya pilih untuk makan ketoprak di dekat rumah malam itu, sambil menunggu ketoprak saya dihidangkan saya berbincang-bincang dengan penjual ketoprak akhirnya saya mengetahui nama penjual ketoprak itu adalah Bejo. Mas Bejo berasal dari desa Buaran Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Dia biasa menjajakan jualannya mulai dari jam lima sore sampai tengah malam. Dari sudah berjualan ketoprak di daerah beji ini kurang lebih lima tahun akunya. Sebelum berjualan ketoprak mas Bejo pernah mencoba bekerja sebagai kuli bangunan tetapi dia tidak merasa nyaman dengan pekerjaannya itu karena selama bekerja menjadi kuli bangunan dia harus bekerja dari pagi hingga malam akhirnya dia memutuskan untuk berhenti menjadi kuli bangunan dan memutuskan untuk berjualan ketoprak.
Mas Bejo disini tinggal sendiri disebuah rumah kontrakan yang dia sewa dengan membayar Rp 300.000,- per bulannya. Dia sudah berkeluarga dan sudah memiliki dua orang anak, keluarganya tinggal dikampung. Mas Bejo biasa menjual ketopraknya dengan harga Rp 8000 sampai Rp 10000 jika ditambah telur. Menurutnya dalam persaingannya dengan penjual ketoprak yang lain dia tidak terlalu memikirkannya karena dia percaya bahwa di dunia ini tidak ada yang terbatas. Untuk itu dia memfokuskan untuk selalu meningkatkan diri dan selalu konsisten dengan apa yang dia kerjakan sekarang sehingga dapat menafkahi keluarganya dikampung. Dari hasil berjualan ketoprak ini dia bisa mendapatkan untung sekitar Rp 3.000.000 sampai Rp 5.000.000 jika sedang rame-ramenya bahkan dia pernah mendapat untung cuma Rp 1.000.000 saja ketika sedang sepi-sepinya yaitu pada waktu orang-orang dan pelanggannya pulang kampung. Dari hasil yang didapat dari berjualan ketoprak ini dia mampu menafkahi keluarganya yang ada di kampung halaman. Ketika sedang asyik-asyiknya menyantap ketoprak mas Bejo berkata, “saya menikmati apa yang terjadi. Ketika sukses, saya bersyukur. Ketika belum sukses, saya tetep bersyukur, dan belajar lagi sampai mendapat rezeki besar,” tukas mas Bejo. ”Asyiknya adalah kebebasan, terserah mau masuk jam berapa. Hehehe. Gak kayak karyawan yang diatur jam kerjanya. Tapi ya dagang juga susahnya harus ngatur diri sendiri, bangun pagi buat dagang, walupun gak ada yang harus nyuruh. Lebih susah ngatur diri sendiri daripada ngatur orang lain menurut saya,” tambahnya.
Akhirnya selesai sudah saya menyantap habis ketoprak yang dihidangkan oleh mas Bejo dan berakhir pula perbincangan saya dengan dia. Dari perbincangan singkat dengan penjual ketoprak di dekat rumah, saya  menyadari potret dari seorang entrepreneur kecil seperti mas Bejo ini setidaknya dapat membantu perekonomian Indonesia karena telah membuka lapangan pekerjaan walaupun saat ini pegawai mas Bejo masih satu orang. Jiwa entrepreneur setidaknya harus dimiliki oleh setiap orang agar memiliki alternatif pekerjaan dan meningkatkan daya saing kreativitas sumber daya manusia.

Be a Good Entrepreneur

Seseorang untuk menjadi entrepreneur yang baik dan sukses tidaklah mudah untuk mencapainya dimana orang tersebut harus mengalami jatuh bangun dan harus pintar-pintar dalam melihat peluang usaha. Sebelum kita berbicara lebih lanjut mengenai entrepreneur ada baiknya terlebih dahulu mengetahui pengertian atau istilah kata dari entrepreneur. Entrepreneur memiliki artian seorang individu yang dapat membawa perubahan, inovasi, pemikiran-pemikiran (ide) baru serta memiliki aturan baru. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai "orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menyusun cara baru dalam berproduksi, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, mengatur permodalan operasinya, serta memasarkannya." Menjadi seorang entrepreneur harus dapat memberdayakan dirinya untuk lingkungan sekitarnya jangan memanfaatkan lingkungan sekitar untuk kepentingan dirinya sendiri.
Seorang entrepeneur mempunyai kelebihan dalam memanage usahanya sendiri. Adapun kelebihan seorang entrepreneur adalah sebagai berikut:
1. Memiliki kesempatan untuk mewujudkan cita-cita
2. Memiliki kesempatan untuk menciptakan perubahan
3. Untuk Mencapai potensi penuh dalam dirinya
4. Untuk mencapai untung yang memuaskan
5. Berkontribusi kepada masyarakat agar dapat memiliki pengakuan akan usahanya
6. Dapat memanfaatkan apa yang disukai untuk hal kebaikan sekitar.
Selain memiliki kelebihan, seorang entrepreneur juga mempunyai ciri dan karakteristik dalam menjalankan usahanya. Berikut ini merupakan ciri-ciri dari seorang entrepreneur:
1. Memiliki mimpi yang tinggi yang harus dicapai
2. Memiliki kekuatan emosional yang saling mendukung untuk menjadi sukses
3. Tidak pernah merasa puas dengan apa yang dicapai sekarang
4. Menyukai tantangan
5. Pantang untung menyerah
6. Memilikikeyakinan yang kuat untuk menjadi sukses
7. Memiliki kreatifitas tinggi.
Selanjutnya karakteristik dari seorang entrepreneur menurut Thomas W. Simmerer dan Norman M. Scarbourough adalah sebagai berikut:
1. Desire for responsibility
Seorang entrepreneur memiliki rasa tanggungjawab yang besar terhadap hasil usahanya. Mereka memilih mengendalikan sumber daya yang dimiliki untuk dapat mencapai tujuan yang telah diyentukan.
2. Preference for moderate risk
Seorang entrepreneur merupakan orang yang telah mengambil resiko yang sudah diperhitungkan, bukan hanya sekedar mengambil resiko secara sembarangan.
3. Confidence in their ability to success
 Seorang entrepreneur harus memiliki keyakinan dan harus selalu optimis dengan apa yang dikerjakannya untuk menjadi sukses.
4. High level of energy
Seorang entrepreneur memiliki kerja keras yang tinggi dan mempunyai tenaga yang lebih energik dibandingkan dengan orang lainnya, karena ini merupakan faktor penentu dalam menjalankan usahanya.
5. Skill at organizing
Seorang entrepreneur sangat mengetahui dalam mengumpulkan orang-orang untuk membentuk suatu organisasi yang memiliki visi untuk dicapai bersama.
6. Fleksibilitas
Seorang entrepreneur dapat beradaptasi dengan cepat terhadap lingkungannya baik itu keinginan konsumen dan perkembangan usahanya.
7. Keuletan
Seorang entrepreneur memiliki suatu keuletan yang dapat menunjang dalam usahanya untuk dapat menjalankan usahanya.
Sumber:
http://entrepreneurship-lecture.blogspot.com/2012/04/karakteristik-entrepreneur.html
http://sellyoktaviany.wordpress.com/2010/11/23/ciri-ciri-seorang-entrepreneur-yang-sukses/
http://cahayaentrepreneur.blogspot.com/2012/10/pengertian-entrepreneur.html
http://temukanpengertian.blogspot.com/2013/07/pengertian-entrepreneur.html 

Rabu, 05 Juni 2013

KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL

1.       Berner Convention
     Konvensi bern yang mengatur tentang perlindungan karya-karya literer (karya tulis) dan artistic, ditandatangani di Bern pada tanggal 9 Septemver 1986, dan telah beberapa kali mengalami revisi serta pentempurnaan-pentempurnaan. Revisi pertama dilakukan di Paris pada tanggal 4 Mei 1896, revisi berikutnya di Berlin pada tanggal 13 November 1908. Kemudian disempurnakan lagi di Bern pada tanggal 24 Maret 1914. Selanjutnya secara bebturut-turut direvisi di Roma tanggal 2 juni 1928 dan di Brussels pada tanggal 26 Juni 1948, di Stockholm pada tanggal 14 Juni 1967 dan yang paling baru di Paris pada tanggal 24 Juni 1971. Anggota konvensi ini berjumlah 45 Negara. Rumusan hak cipta menutut konvensi Bern adalah sama seperti apa yang dirimuskan oleh Auteurswet 1912.
      Objek perlindungan hak cipta dalam konvensi ini adalah: karya-karya sastra dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmiah dan kesenian dalam cara atau bentuk pengutaraan apapun. Suatu hal yang terpenting dalam konvensi bern adalah mengenai perlindungan hak cipta yang diberikan terhadap para pencipta atau pemegang hak. Perlindungan diberikan pencipta dengan tidak menghiraukan apakah ada atau tidaknya perlindungan yang diberikan. Perlindungan yang diberikan adalah bahwa sipencipta yang tergabung dalam negara-negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh hak dalam luas dan berkerjanya disamakan dengan apa yang diberikan oleh pembuat undang-undang dari negara peserta sendiri jika digunakan secara langsung perundang-undanganya terhadap warga negaranya sendiri.
     Pengecualian diberikan kepada negara berkembang (reserve). Reserve ini hanya berlaku terhadap negara-negara yang melakukan ratifikasi dari protocol yang bersangkutan. Negara yang hendak melakukan pengecualian yang semacam ini dapat melakukannya demi kepentingan ekonomi, social, atau cultural. Keikutsertaan suatu negara sebagai anggota konvensi bern membuat tiga prinsip dasar, yang menimbulkan kewajiban negara peserta untuk menerapkan dalam perundang-undangan nasionalnya dibidang hak cipta, yaitu:
a. Prinsip National Treatment
   Ciptaan yang berasal dari salah satu negara peserta perjanjian harus mendapat perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti diperoleh ciptaan seorang pencipta warga negara sendiri.
b. Prinsip Automatic Protection
    Pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun (no conditional upon compliance with any formality).
c. Prinsip Independence of Protection
    Bentuk perlindungan hukum hak cipta yang diberikan tanpa harus bergantung pada pengaturan perlindungan hukum negara asal pencipta.

2.    Universal Copyright Convention (UCC)
    Universal Copyright Convention mulai berlaku pada tanggal 16 September 1955. Konvensi ini mengenai karya dari orang-orang yang tanpa kewarganegaraan dan orang-orang pelarian. Ini dapat dimengerti bahwa secara internasional hak cipta terhadap orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan atau orang-orang pelarian, perlu dilindungi. Dengan demikian salah satu dari tujuan perlindungan hak cipta tercapai.
     Dalam hal ini kepentingan negara-negara berkembang di perhatikan dengan memberikan batasan-batasan tertentu terhadap hak pencipta asli untuk menterjemahkan dan diupayakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan ilmu pengetahuan.
     Konvensi bern menganut dasar falsafah eropa yang mengaggap hak cipta sebagai hak alamiah dari pada si pencipta pribadi, sehingga menonjolkan sifat individualis yang memberikan hak monopoli. Sedangkan Universal Copyright Convention mencoba untuk mempertemukan antara falsafah eropa dan amerika. Yang memandang hak monopoli yang diberikan kepada si pencipta diupayakan pula untuk memperhatikan kepentingan umum. Universal Copyright Convention mengganggap hak cipta ditimbulkan oleh karena adanya ketentuan yang memberikan hak seperti itu kepada pencipta. Sehingga ruang lingkup dan pengertian hak mengenai hak cipta itu dapat ditentukan oleh peraturan yang melahirkan hak tersebut.
    Universal Copyright Convention menghasilkan beberapa garis besar yang dijadikan sebagai ketentuan dalam memberikan hak cipta. Garis-garis besar ketentuan pada Universal Copyright Convention 1955 antara lain sebagai berikut:
a. Adequate and effective protection
b. National treatment
c.  Formalities
d. Duration of protection
e. Translation right
f. Juridiction of the International Court of Justice
  Penyelesaian sengketa yang tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat, diajukan ke Mahkamah Internasional.
g. Bern Safeguard Clause.
   
3. Konvensi-Konvensi Tentang Hak Cipta
A.      Berner Convention
     Konvensi bern yang mengatur tentang perlindungan karya-karya literer (karya tulis) dan artistic, ditandatangani di Bern pada tanggal 9 Septemver 1986, dan telah beberapa kali mengalami revisi serta pentempurnaan-pentempurnaan. Revisi pertama dilakukan di Paris pada tanggal 4 Mei 1896, revisi berikutnya di Berlin pada tanggal 13 November 1908. Kemudian disempurnakan lagi di Bern pada tanggal 24 Maret 1914. Selanjutnya secara bebturut-turut direvisi di Roma tanggal 2 juni 1928 dan di Brussels pada tanggal 26 Juni 1948, di Stockholm pada tanggal 14 Juni 1967 dan yang paling baru di Paris pada tanggal 24 Juni 1971. Anggota konvensi ini berjumlah 45 Negara. Rumusan hak cipta menutut konvensi Bern adalah sama seperti apa yang dirimuskan oleh Auteurswet 1912.
      Objek perlindungan hak cipta dalam konvensi ini adalah: karya-karya sastra dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmiah dan kesenian dalam cara atau bentuk pengutaraan apapun. Suatu hal yang terpenting dalam konvensi bern adalah mengenai perlindungan hak cipta yang diberikan terhadap para pencipta atau pemegang hak. Perlindungan diberikan pencipta dengan tidak menghiraukan apakah ada atau tidaknya perlindungan yang diberikan. Perlindungan yang diberikan adalah bahwa sipencipta yang tergabung dalam negara-negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh hak dalam luas dan berkerjanya disamakan dengan apa yang diberikan oleh pembuat undang-undang dari negara peserta sendiri jika digunakan secara langsung perundang-undanganya terhadap warga negaranya sendiri.
     Pengecualian diberikan kepada negara berkembang (reserve). Reserve ini hanya berlaku terhadap negara-negara yang melakukan ratifikasi dari protocol yang bersangkutan. Negara yang hendak melakukan pengecualian yang semacam ini dapat melakukannya demi kepentingan ekonomi, social, atau cultural. Keikutsertaan suatu negara sebagai anggota konvensi bern membuat tiga prinsip dasar, yang menimbulkan kewajiban negara peserta untuk menerapkan dalam perundang-undangan nasionalnya dibidang hak cipta, yaitu:
a. Prinsip National Treatment
   Ciptaan yang berasal dari salah satu negara peserta perjanjian harus mendapat perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti diperoleh ciptaan seorang pencipta warga negara sendiri.
b. Prinsip Automatic Protection
    Pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun (no conditional upon compliance with any formality).
c. Prinsip Independence of Protection
    Bentuk perlindungan hukum hak cipta yang diberikan tanpa harus bergantung pada pengaturan perlindungan hukum negara asal pencipta.

B.    Universal Copyright Convention (UCC)
    Universal Copyright Convention mulai berlaku pada tanggal 16 September 1955. Konvensi ini mengenai karya dari orang-orang yang tanpa kewarganegaraan dan orang-orang pelarian. Ini dapat dimengerti bahwa secara internasional hak cipta terhadap orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan atau orang-orang pelarian, perlu dilindungi. Dengan demikian salah satu dari tujuan perlindungan hak cipta tercapai.
     Dalam hal ini kepentingan negara-negara berkembang di perhatikan dengan memberikan batasan-batasan tertentu terhadap hak pencipta asli untuk menterjemahkan dan diupayakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan ilmu pengetahuan.
     Konvensi bern menganut dasar falsafah eropa yang mengaggap hak cipta sebagai hak alamiah dari pada si pencipta pribadi, sehingga menonjolkan sifat individualis yang memberikan hak monopoli. Sedangkan Universal Copyright Convention mencoba untuk mempertemukan antara falsafah eropa dan amerika. Yang memandang hak monopoli yang diberikan kepada si pencipta diupayakan pula untuk memperhatikan kepentingan umum. Universal Copyright Convention mengganggap hak cipta ditimbulkan oleh karena adanya ketentuan yang memberikan hak seperti itu kepada pencipta. Sehingga ruang lingkup dan pengertian hak mengenai hak cipta itu dapat ditentukan oleh peraturan yang melahirkan hak tersebut.
    Universal Copyright Convention menghasilkan beberapa garis besar yang dijadikan sebagai ketentuan dalam memberikan hak cipta. Garis-garis besar ketentuan pada Universal Copyright Convention 1955 antara lain sebagai berikut:
a. Adequate and effective protection
b. National treatment
c.  Formalities
d. Duration of protection
e. Translation right
f. Juridiction of the International Court of Justice
  Penyelesaian sengketa yang tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat, diajukan ke Mahkamah Internasional.
g. Bern Safeguard Clause.

C. Convention for the Protection of Performes, Producers of Phonogram and Broadcasting                      Organization (Rome Convention/ Neighboring Convention)
   Convention for the Protection of Performes, Producers of Phonogram and Broadcasting                      Organization diterima oleh anggota BIRPI, pendahulu ke modern World Intellectual Property Organization, pada tanggal 26 Oktober 1961. Perjanjian tersebut diperpanjang hak cipta perlindungan untuk pertama kalinya dari penulis sebuah karya kepada pencipta dan pemilik khusus, manifestasi fisik kekayaan intelektual, seperti kaset atau DVD .

    Bangsa menyusun Konvensi dalam menanggapi teknologi baru seperti tape recorder yang membuat reproduksi suara dan gambar lebih mudah dan lebih murah daripada sebelumnya. Padahal sebelumnya hukum hak cipta, termasuk perjanjian internasional seperti 1886 Konvensi Berne, telah ditulis untuk mengatur peredaran barang cetakan, Konvensi Roma menanggapi keadaan baru ide dengan berbagai diwakili dalam unit mudah direproduksi dengan menutup artis dan produser rekaman yang dilindungi hak cipta, pelaku (aktor, penyanyi, musisi, penari dan orang lain yang melakukan karya-karya sastra atau seni) dilindungi dari tindakan-tindakan tertentu mereka tidak menyetujui. Tindakan tersebut adalah: penyiaran dan komunikasi kepada publik live performance mereka, fiksasi live performance mereka, yang diperbanyaknya fixation tersebut jika fiksasi asli dibuat tanpa persetujuan mereka atau jika reproduksi dibuat untuk tujuan yang berbeda dari orang-orang yang mereka memberikan persetujuan mereka.

       Produser rekaman suara menikmati hak untuk memberikan ijin atau melarang reproduksi langsung atau tidak langsung hasil rekamannya. Rekaman didefinisikan dalam Konvensi Roma sebagai artinya setiap fiksasi eksklusif aural suara dari suatu pertunjukan atau suara lainnya. Ketika rekaman suara diterbitkan untuk tujuan komersial menimbulkan penggunaan sekunder (seperti penyiaran atau komunikasi kepada publik dalam bentuk apapun), remunerasi yang adil tunggal harus dibayar oleh pengguna untuk para pemain, atau ke produser rekaman suara, atau keduanya, kontraktor Serikat bebas, bagaimanapun, tidak menerapkan aturan ini atau membatasi penerapannya.
    Organisasi penyiaran menikmati hak untuk memberikan ijin atau melarang tindakan tertentu, yaitu: rebroadcasting siaran mereka, fiksasi siaran mereka, reproduksi fiksasi tersebut; komunikasi kepada publik siaran televisi mereka jika komunikasi tersebut dilakukan di tempat-tempat diakses masyarakat terhadap pembayaran biaya masuk. Konvensi Roma memungkinkan pengecualian berikut dalam hukum nasional dengan hak-hak yang disebutkan di atas:
1. Penggunaan pribadi
2. Penggunaan kutipan singkat sehubungan dengan pelaporan kejadian terkini
3. Singkat fiksasi oleh organisasi penyiaran melalui fasilitas sendiri dan untuk siaran sendiri
4. Digunakan semata-mata untuk tujuan mengajar atau penelitian ilmiah

5. Dalam kasus-kecuali lainnya untuk lisensi wajib yang akan bertentangan dengan Konvensi Berne-mana hukum nasional memberikan pengecualian untuk hak cipta atas karya sastra dan seni.

Selanjutnya, setelah seorang pemain telah menyetujui untuk penggabungan penampilannya dalam fiksasi visual atau audiovisual, ketentuan tentang hak-hak pemain 'tidak memiliki aplikasi lebih lanjut.

Sumber: 
1. http://edya.staff.gunadarma.ac.id 
2. http://hukum2industri.wordpress.com/2011/06/07/konvensi-internasional-tentang-hak-cipta/

3. Saidin, S.H., M. Hum. Aspek Hukum dan Kekayaan Intelektual. Rajagrafindo. Jakarta. 1997
4. Lindsey dkk, Tim, Prof., B.A., LL.B., BLitt, Ph.D. Suatu Pengantar Hak Kekayaan Intelektual. P.T  Alumni. Bandung. 2005.
5. Margono Suyud. 2010. Hukum Hak Cipta di Indonesia Teori dan Analisis Harmonisasi Ketentuan Word Trade Organization (WTO)-TRIPs Agreement. Ghalia Indonesia. Bogor.  
6.http://en.wikipedia.org/wiki/Rome_Convention_for_the_Protection_of_Performers,_Producers_of_Phonograms_and_Broadcasting_Organisations